Sepasang Kaos Kaki

Menjadi “sama dan serupa” atau dengan panggilan “cool”, trendy dengan remaja lain merupakan keinginan semua remaja. Saya masih ingat bagaimana sebagai seorang remaja dalam tahun 70an saya merasakan harus memiliki sepasang kaus kaki sport fesyen yang terbaru yang sedang “in”. Persoalannya, bulan lalu saya baru saja membeli sepasang kaus kaki sekolah.
Tetapi, kaus kaki sport sekarang sedang menjadi kegilaan anak-anak muda, oleh sebab itu saya menjumpai ayah meminta bantuannya.
“Ayah, Saya perlukan sedikit uang untuk kaus kaki sport”, ujar saya satu petang di bengkel di mana ayah saya bekerja sebagai mekanik.
“Nak” ayah kelihatannya terkejut.
“kaus kakimu baru berumur satu bulan, tapi mengapa kini kau perlukan kaus kaki baru?”
“Setiap orang memakai kaus kaki sport yah!” sahut ku.
——————————————————————————–
“Memanglah begitu keadaannya nak, namun untuk ayah mendapatkannya untuk mu amatlah payah” ayah diam seketika.
“Gaji ayah kecil dan sering tidak mencukupi untuk memenuhi keperluan sehari-harian” sambung ayah.
“Ayah, saya akan kelihatan seperti budak bodoh memakai kaus kaki jenis ini ” kataku sambil menunjuk kepada sepasang kaus kaki yang sedang saya pakai.
Ayah memandang dalam-dalam ke mataku.
Kemudian dia menjawab, “Begini saja, Kau pakai kaus kaki ini untuk satu hari lagi. Besok, di sekolah, perhatikan semua kaus kaki dari kawan-kawanmu. Bila selesai sekolah jika kau masih berkeyakinan bahwa kaus kakimu paling buruk jika dibandingkan dengan kawan-kawanmu, ayah akan memotong uang belanja ibumu dan membelikan sepasang kaus kaki sports”
Dengan gembira saya pergi ke sekolah, keesokan paginya, penuh berkeyakinan bahwa hari itu merupakan hari terakhir bagiku memakai kaus kaki yang ketinggalan zaman ini. Saya lakukan seperti apa yang ayah perintahkan, namun tidak saya ceritakan apa yang saya lihat secara teliti.
kaus kaki coklat, kaus kaki hitam, kaus kaki tennis yang sudah kusam, semua menjadi pusat perhatianku. Pada petang hari, saya akan memiliki perbendaharaan baru walaupun dalam ingatanku betapa banyaknya lagi teman-teman di sekolah yang juga memakai kaus kaki bukan jenis sport, bahkan kaus kaki-kaus kaki rosak, berlobang, menganga dan lain-lain bentuk yang sudah mendekati kepunahan sebagai alat pelindung kaki.
Namun banyak juga yang memakai kaus kaki sport yang gagah, yang senantiasa membuat pemiliknya kelihatan penuh bergaya bila si pemiliknya menghentakkannya dengan gagah perkasa.
Setelah sekolah selesai, saya berjalan cepat ke bengkel di mana ayah bekerja. Saya hampir yakin bahwa Senin depan saya juga akan termasuk dalam kelompok yang sedang “in”. Setiap kali saya menghentakkan tumit saya di jalan, saya membayangkan telah memakai kaus kaki sport idaman saya.
Bengkel sepi sekali saat itu. Suara yang terdengar hanya dentingan hentakan besi dari bawah sebuah mobil tua buatan tahun 1956. Udara berbau minyak, namun pada hemat penciuman saya, asyik sekali. Hanya seorang pelanggan sedang menunggu ayah yang sedang bergelut di bawah mobil tua itu.
” Paman ” tanya saya kepada pelanggan yang sedang menunggu, ” masih lamakah? “
“Entahlah. Kau kan tahu sifat ayahmu. Dia sedang membetulkan transmission, namun bila dia mendapati bahwa adanya bagian lain yang tidak betul, dia akan menyelesaikannya juga.”
Saya bersandar pada mobil tua itu. Apa yang dapat saya lihat hanyalah sepasang kaki ayah yang menjulur keluar dari bawah mobil. Sambil menjentik-jentik lampu belakang mobil, secara tidak sadar saya menatap kaki ayah. Pakaian kerjanya berwarna biru tua, kusam dan kotor terkena minyak, lusuh pula. kaus kakinya, berwarna putih tua…. ah …. bukan hitam muda……, dan sungguh-sungguh buruk, sebagaimana mestinya kaus kaki seorang mekanik.
kaus kaki kirinya sudah tidak bertapak, dan bahagian kanan masih memiliki sepotong kecil kulit tipis, yang dahulu bernama tapak kaus kaki. Di hujungnya, sebaris staples mencengkeram kuat kedua belah kulit, mencegah ibu jari kakinya mengintip keluar. Tali rafia menjadi pengikat kaus kakinya dan sebuah lubang memperlihatkan sebagian dari jari kelingkingnya yang terbalut dari cebisan kotak kadbod.
” Sudah pulang nak? ” ayah berkata sambil menggelungsur keluar dari bawah mobil.
“Yes sir” kataku.
” Telah kau lakukan seperti apa yang ku perintahkan hari ini?”
“Yes sir”
“Nah, apa jawabanmu ?” Ayah memandangku, seolah-olah tahu apa yang akan saya ucapkan.
“Saya tetap inginkan kaus kaki sport ” Saya berkata tegas, dan berusaha seboleh-bolehnya untuk tidak memandang kaus kaki ayah.
“Kalau begitu, ayah harus potong uang belanja ibumu….. kenapa tak pergi dan membelinya sekarang?” lalu ayah mengeluarkan selembar uang sepuluh ringgit.
Saya menerima uang itu dan segera berangkat ke pusat membeli-belah berdekatan dengan bengkel di mana ayah bekerja.
Di cermin pamiran disebuah kedai, saya berhenti untuk melihat apakah kaus kaki sportku masih dipamir. Ternyata masih! Dan harganya sembilan ringgit sembilan puluh lima sen. Namun wang saya tidak akan cukup bila saya harus membeli stokin yang akan dipadankan dengan kaus kaki itu agar kelihatan lebih bergaya. Saya berfikir, untuk lari ke rumah dan meminta bantuan dana dari ibu, sebab tidak mungkin untuk saya kembali kepada ayah dan meminta kekurangannya.
Pada saat itu, saya teringat kepada ayah, kaus kaki tuanya terbayang melintasi kedua mataku. Jelas nampak keburukannya, sisinya yang compang-camping, paku paku yang telah mengintip keluar dan sebaris staples yang umumnya dipakai untuk menyepit kertas. kaus kaki kulit usang yang dipakainya untuk menghidupi keluarganya. Pada waktu musim hujan lebat, kaus kaki yang sama dipakainya melintasi jalan-jalan yang banjir, menuju kepada mobil-mobil yang mogok.
Namun ayah tidak pernah mengeluh. Terfikir olehku, betapa banyaknya benda-benda yang seharusnya diingini ayah, namun tidak pernah dimilikinya, semata-mata agar saya mendapatkan apa yang saya ingini. Dan keinginan memiliki kaus kaki sport yang ada di balik kaca pamiran di hadapanku mulai memudar.
Apa jadinya bila ayah bersikap sepertiku. kaus kaki jenis apa yang akan ku pakai saat ini, bila ayahku bersikap seperti saya. Saya masuk ke dalam kedai kaus kaki itu. Sebuah rak besar terpampang megah, penuh berisi kaus kaki sport yang sungguh impressive. Di sebelahnya, terdapat sebuah rak lain, dengan sebingkai tulisan “BIG SALE!! 50% DISCOUNT”.
Dibawah bingkai itu tergeletak kaus kaki-kaus kaki seperti model kaus kaki ayah, beberapa generasi lebih muda, tentunya. Otakku bermain ping-pong. Mula-mula kaus kaki ayah yang buruk. Dan sekarang kaus kaki baru. Fikiran mengenai menjadi “in” dan seirama dengan remaja lain di sekolah. Dan kemudian fikiran mengenai ayah,…. telah mengalahkannya.
Saya mengambil kaus kaki ukuran 42 dari rak yang berdiscount. Dengan segera berjalan ke arah kaunter pembayaran dan membayar harganya sebanyak lima ringgit.
Saya kembali ke bengkel dan meletakkan kaus kaki baru ayah di atas tempat duduknya di dalam mobil. Saya mendapatkan ayah dan mengembalikan wang lebihan.
” Ayah ingat harganya sembilan ringgit sembilan puluh lima sen ” kata ayah.
” Sale ” kataku pendek.
Saya mengambil sapu, dan mulai membantu ayah membersihkan bengkel. Pukul lima petang, dia memberi tanda bahawa bengkel harus ditutup dan kami harus pulang.
Ayah mengangkat kotak kaus kaki ketika kami masuk ke dalam mobilnya. Ketika dia membuka kotak itu, dia hanya dapat memandang tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia memandang kaus kaki itu lama-lama, kemudian menoleh pandangannya kepadaku.
” Ayah ingat kau membeli kaus kaki sport “, katanya, nadanya perlahan.
” Sebetulnya ayah, saya memang berkeinginan memilikinya tetapi …. saya tak sanggup meneruskan niat saya. Bagaimana saya harus menjelaskannya bahwa saya sungguh ingin menjadi seperti ayah? Dan apabila saya menjadi dewasa kelak, saya sesungguhnya ingin menjadi seperti orang sebaik ini, yang Tuhan berikan kepada saya sebagai ayah saya.
Ayah meletakkan tangannya pada bahu saya, dan kami saling berpandangan buat seketika.
Tidak ada kata-kata yang perlu dikatakan.
Ayah menghidupkan mesin mobil, dan kami pulang.
Terima kasih Tuhan, karena engkau telah memberiku seorang ayah yang baik dan bertanggungjawab………….

By cerita inspirasi on Jumat, 16 Juli 2010 | A comment?
0 responses to “Sepasang Kaos Kaki”